Bab I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Permasalahan
Dalam suatu organisasi, pesan-pesan yang disampaikan oleh pemimpin kepada para bawahan, terkadang tidak terorganisasi dengan baik. Hal ini menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan tidak mengenai sasaran atau hasilnya tidak sesuai dengan apayang dikehendaki.
Dengan mengatur ide-ide secara logis, berurutan, dan tidak bertele-tele, ide yang disampaikan akan dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan informasi, motivasi, maupun praktis bagi audiens. Mengorganisasi pesan-pesan secara baik adalah suatu keharusan dan menjadi tantangan bagi komunikator
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengorganisasi pesan-pesan yang baik sebagai berikut :
1. Subjek dan tujuan harus jelas.
2. Semua informasi harus berhubungan dengan subjek dan tujuan.
3. Ide-ide harus dikelompokkan dan disajikan dengan cara yang logis.
4. Semua informasi yang penting harus sudah tercakup.
Jenis atau tipe pesan bisnis yang paling sering digunakan adalah penyampaian yang langsung paha hal yang dituju. Pesan ini dapat berbentuk surat dan memo. Contoh dari pesan permintaan langsung ini dat terlihat pada pembuatan surat pesanan, permintaan rutin, aduan atau klaim, permintaan kredit rutin.
I.2. Batasan masalah
Adapun pokok-pokok batasan yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pengorganisasian Direct Request
2. Permintaan informasi rutin
3. Pengaduan atau klaim
4. Surat undangan,pesanan dan reservasi
5. Permintaan kredit
Download selengkapnya di sini
Selasa, 19 Januari 2010
Tugas Makalah Komunikasi
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Permasalahan
Hampir semua studi tentang manusia dan kehidupannya, selalu berhubungan dengan komunukasi. Artinya komuniksi memang ada pada setiap kehidupan manusia dan kegiatan manusia, dimanapun manusia itu berada hanya saja titik berat pembahasannya yang berbeda. .
Komunikasi terjadi apabila jika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu interaksi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Melalui komunikasi manusia saling bertukar pengetahuan, informasi dan pengalaman. Dengan komunikasi manusia berusaha mengerti , memahami, mempengaruhi dan mengatur manusia lainnya.
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicare” yang berarti “ berbicara, bermusyawarah, berpidato, bercakap-cakap dan berkonsultasi satu sama lain”. Jadi Komunikasi secara ilmiah dapat juga berarti proses penyampaian pesan atau informasi dari pengirim (komunikator/Sender)kepada penerima (komunikan/receiver) dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan media) untuk mendapatkan umpan balik (feedback).
Download selengkapnya di sini
Latar Belakang Permasalahan
Hampir semua studi tentang manusia dan kehidupannya, selalu berhubungan dengan komunukasi. Artinya komuniksi memang ada pada setiap kehidupan manusia dan kegiatan manusia, dimanapun manusia itu berada hanya saja titik berat pembahasannya yang berbeda. .
Komunikasi terjadi apabila jika dua orang atau lebih terlibat dalam suatu interaksi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Melalui komunikasi manusia saling bertukar pengetahuan, informasi dan pengalaman. Dengan komunikasi manusia berusaha mengerti , memahami, mempengaruhi dan mengatur manusia lainnya.
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicare” yang berarti “ berbicara, bermusyawarah, berpidato, bercakap-cakap dan berkonsultasi satu sama lain”. Jadi Komunikasi secara ilmiah dapat juga berarti proses penyampaian pesan atau informasi dari pengirim (komunikator/Sender)kepada penerima (komunikan/receiver) dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan media) untuk mendapatkan umpan balik (feedback).
Download selengkapnya di sini
Tugas Artikel pelanggaran HAM
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai hari raya nasional oleh negara Timor Leste yang merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai hari raya nasional oleh negara Timor Leste yang merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.
Tugas Observasi Kesenian Lengger
Lengger, yaitu jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badhud, Lengger disajikan diatas panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi olah perangkat musik calung.
Beberapa informasi berhasil saya dapatkan untuk memperdalam observasi saya tentang Lengger. Beberapa orang yang kami temui menceritakan beberapa hal penting tentang Lengger. Pertama adalah Mas Noer, yang menceritakan bagaimana Lengger benar-benar menjadi sebuah arena yang sakral. Pada masa dulu, tidak banyak orang desa yang mengundang Lengger untuk pentas karena tingkat ekonomi masyarakat pedesaan yang tidak terlalu bagus untuk membayar kelompok Lengger. Kelompok Lengger mengadakan pentas di desa setelah petani desa memanen padi. Biasanya secara spontan penari Lengger menggelar tikar di tanah lapang kemudian menari diiringi penabuh calung dan kendang. Menurut Mas Noer, pertunjukan biasanya dimulai sore hari dan berakhir saat malam telah larut. Di awali dari penabuh kendang sebagai pertanda datangnya musim panen kemudian di sambut dengan pemain calung untuk mengumpulkan masyarakat desa dan kemudian dilanjutkan dengan penari lengger. Barulah prosesi lengger berlangsung. Ditengah pertunjukan biasanya salah seorang anggota kelompok Lengger mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang dari penonton yang menikmati pertunjukan malam itu. Pada titik tertentu Ronggeng dapat memainkan perannya sebagai pengemban tugas suci membawakan tari untuk menghormati dewi kesuburan. Miras dan seks baru mewarnai pementasan Lengger ketika ia dipentaskan dalam acara yang digelar oleh kalangan priyayi ataupun pejabat pemerintahan.
Tetapi Lengger telah dimatikan seiring dengan berkembangnya wacana anti-komunisme di tahun 1965. Lengger dicoba untuk dihilangkan sebagai ikon Banyumas. Hal ini tentu saja memaksa banyak kelompok Lengger menutup kisah mereka sebagai seniman Lengger seiring dengan sepinya pementasan, bahkan di desa sekalipun. Tak ada lagi ritual penghormatan setelah panen.
Lengger “hidup kembali” saat Golkar berkampanye di awal 70-an. Lengger dihidupkan sebagai bagian dari mesin penarik massa dalam kampanye Pemilu. Tetapi perubahan terjadi pada Lengger di tahun-tahun ini. Banyak tradisi yang hilang dari pementasan Lengger. Perubahan yang di ceritakan oleh Kang Tohari antara lain tentang isi syair yang dilantunkan oleh Ronggeng (penari Lengger) yang dulunya bercerita tentang petuah-petuah filosofis Jawa telah berubah menjadi slogan-slogan kampanye ala Golkar. Begitu pula kostum kelompok Lengger yang telah didominasi oleh warna kuning. Mulai tahun 1970-an Lengger telah dikooptasi oleh struktur politik Orde Baru melalui Golkar. Bahkan istilah Lengger coba diganti dengan istilah baru yang khas Jawa Mataraman, yaitu Gambyong Banyumasan.
Orang kedua yang kami temui adalah Kang Imam, Penduduk asli Bantarbarang Purbalingga, sebuah desa yang dulu terkenal dengan kelompok Lenggernya. Sekarang tak ada lagi cerita Lengger di desa ini. Ia mengatakan bahwa tidak adanya regenerasi antar generasi Lengger dan perubahan pola pikir masyarakat Desa Bantarbarang telah mengakibatkan Lengger kehilangan daya tariknya sebagai sebuah pilihan berkesenian. Perubahan nilai-nilai sosial yang tidak lagi permisif terhadap Lengger telah mengakibatkan Lengger di desa ini kehilangan penerusnya. Menurutnya perubahan nilai dalam masyarakat ini diakibatkan berkembangnya institusi pendidikan di desa ini. Kang Imam juga menceritakan bahwa para seniman Lengger sendiri mencoba beralih pada kelompok-kelompok Kuda lumping yang sedang in akhir-akhir ini.
Orang ketiga yang kami temui adalah Tamiyaji. Dalam obrolan yang cukup panjang kami mencari informasi tentang hal-hal teknis seputar pementasan Lengger. Kami menghindari pembicaraan yang khusus tentang hal-hal diluar pementasan karena mengingat pesan Kang Imam agar jangan menyinggung kehidupan Lengger pada masa lalu. Tamiyaji menuturkan dengan sangat rinci tentang berbagai piranti yang digunakan dalam pementasan Lengger, antara lain; Calung (sejenis alat musik pukul yang berjajar dan mempunyai nada bunyi tersendiri dalam setiap lajurnya), bongkel (sejenis angklung dengan tiga balok bamboo sebagai instrument penghasil suara ini masuk pada alat musik bongkel bukan calung), angklung, Gong tiup , Gamelan bambu , dan Kendang.
Beberapa informasi berhasil saya dapatkan untuk memperdalam observasi saya tentang Lengger. Beberapa orang yang kami temui menceritakan beberapa hal penting tentang Lengger. Pertama adalah Mas Noer, yang menceritakan bagaimana Lengger benar-benar menjadi sebuah arena yang sakral. Pada masa dulu, tidak banyak orang desa yang mengundang Lengger untuk pentas karena tingkat ekonomi masyarakat pedesaan yang tidak terlalu bagus untuk membayar kelompok Lengger. Kelompok Lengger mengadakan pentas di desa setelah petani desa memanen padi. Biasanya secara spontan penari Lengger menggelar tikar di tanah lapang kemudian menari diiringi penabuh calung dan kendang. Menurut Mas Noer, pertunjukan biasanya dimulai sore hari dan berakhir saat malam telah larut. Di awali dari penabuh kendang sebagai pertanda datangnya musim panen kemudian di sambut dengan pemain calung untuk mengumpulkan masyarakat desa dan kemudian dilanjutkan dengan penari lengger. Barulah prosesi lengger berlangsung. Ditengah pertunjukan biasanya salah seorang anggota kelompok Lengger mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang dari penonton yang menikmati pertunjukan malam itu. Pada titik tertentu Ronggeng dapat memainkan perannya sebagai pengemban tugas suci membawakan tari untuk menghormati dewi kesuburan. Miras dan seks baru mewarnai pementasan Lengger ketika ia dipentaskan dalam acara yang digelar oleh kalangan priyayi ataupun pejabat pemerintahan.
Tetapi Lengger telah dimatikan seiring dengan berkembangnya wacana anti-komunisme di tahun 1965. Lengger dicoba untuk dihilangkan sebagai ikon Banyumas. Hal ini tentu saja memaksa banyak kelompok Lengger menutup kisah mereka sebagai seniman Lengger seiring dengan sepinya pementasan, bahkan di desa sekalipun. Tak ada lagi ritual penghormatan setelah panen.
Lengger “hidup kembali” saat Golkar berkampanye di awal 70-an. Lengger dihidupkan sebagai bagian dari mesin penarik massa dalam kampanye Pemilu. Tetapi perubahan terjadi pada Lengger di tahun-tahun ini. Banyak tradisi yang hilang dari pementasan Lengger. Perubahan yang di ceritakan oleh Kang Tohari antara lain tentang isi syair yang dilantunkan oleh Ronggeng (penari Lengger) yang dulunya bercerita tentang petuah-petuah filosofis Jawa telah berubah menjadi slogan-slogan kampanye ala Golkar. Begitu pula kostum kelompok Lengger yang telah didominasi oleh warna kuning. Mulai tahun 1970-an Lengger telah dikooptasi oleh struktur politik Orde Baru melalui Golkar. Bahkan istilah Lengger coba diganti dengan istilah baru yang khas Jawa Mataraman, yaitu Gambyong Banyumasan.
Orang kedua yang kami temui adalah Kang Imam, Penduduk asli Bantarbarang Purbalingga, sebuah desa yang dulu terkenal dengan kelompok Lenggernya. Sekarang tak ada lagi cerita Lengger di desa ini. Ia mengatakan bahwa tidak adanya regenerasi antar generasi Lengger dan perubahan pola pikir masyarakat Desa Bantarbarang telah mengakibatkan Lengger kehilangan daya tariknya sebagai sebuah pilihan berkesenian. Perubahan nilai-nilai sosial yang tidak lagi permisif terhadap Lengger telah mengakibatkan Lengger di desa ini kehilangan penerusnya. Menurutnya perubahan nilai dalam masyarakat ini diakibatkan berkembangnya institusi pendidikan di desa ini. Kang Imam juga menceritakan bahwa para seniman Lengger sendiri mencoba beralih pada kelompok-kelompok Kuda lumping yang sedang in akhir-akhir ini.
Orang ketiga yang kami temui adalah Tamiyaji. Dalam obrolan yang cukup panjang kami mencari informasi tentang hal-hal teknis seputar pementasan Lengger. Kami menghindari pembicaraan yang khusus tentang hal-hal diluar pementasan karena mengingat pesan Kang Imam agar jangan menyinggung kehidupan Lengger pada masa lalu. Tamiyaji menuturkan dengan sangat rinci tentang berbagai piranti yang digunakan dalam pementasan Lengger, antara lain; Calung (sejenis alat musik pukul yang berjajar dan mempunyai nada bunyi tersendiri dalam setiap lajurnya), bongkel (sejenis angklung dengan tiga balok bamboo sebagai instrument penghasil suara ini masuk pada alat musik bongkel bukan calung), angklung, Gong tiup , Gamelan bambu , dan Kendang.
Tugas Artikel Lengger
LENGGER BANYUMAS
A. LATAR SEJARAH
Lengger merupakan jarwo dhosok yang berarti leng sing gawe gégér (lubang yang membuat geger). Disebut juga ronggeng yang juga jarwo dhosok, berarti ronging ketunggeng (lubang tempat hunian ketonggeng). Istilah “leng” maupun “rong” sama-sama berarti lubang yang merupakan simbolisasi dari alat kelamin wanita. Hal demikian terkait dengan pertunjukan yang dilakukan oleh penari wanita muda usia yang lenggang-lenggok mengolah gerak dan suara serta bahasa tubuh yang ditampilkan di atas pentas yang berpotensi mengundang birahi kaum pria. Yang membedakan lengger dan ronggeng adalah wilayah sebarannya. Lengger lebih berkembang di sisi kiri aliran sungai serayu, sedangkan ronggeng berkembang di sisi kanan sungai serayu. Namun pada intinya kedua-duanya sama, tarian rakyat yang diiringi dengan menggunakan perangkat musik calung, krumpyung ataupun ringgeng. Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah lengger berarti ana celeng padha geger. Pengertian ini tidak lain berkaitan dengan pola kehidupan tradisional agraris masyarakat yang bermukim di daerah Banyumas. Kultur petani di daerah ini telah melahirkan tradisi lengger yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat setempat. Kalimat ana celeng padha geger diilhami oleh hama babi hutan yang merusak tanaman pertanian (padi, jagung, jewawut, ketela pohon, dan lain-lain). Apabila sekelompok babi hutan datang merusak tanaman pertanian maka masyarakat geger dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian untuk mengusir hama tanaman tersebut. Kebiasaan ini kemudian diungkapkan kembali melalui tabuh-tabuhan alat musik yang diberi tari-tarian yang akhirnya disebut dengan istilah “lengger”.
Bagi mayarakat Banyumas, lengger atau ronggeng berlangsung searah dengan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Tarian rakyat ini adalah media ungkap ekspresi pengalaman estetis masyarakat pedesaan. Tetapi ia juga sarana upacara kesuburan, sarana tontonan, sarana hiburan, sarana integrasi sosial dan sarana pernyataan jatidiri. Semua itu berlangsung bersama dalam geliat kehidupan masyarakat pedesaan yang sederhana, lugu, terbuka dan egaliter. Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana karena tingkahnya yang lucu, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden.
Download selengkapnya di sini
A. LATAR SEJARAH
Lengger merupakan jarwo dhosok yang berarti leng sing gawe gégér (lubang yang membuat geger). Disebut juga ronggeng yang juga jarwo dhosok, berarti ronging ketunggeng (lubang tempat hunian ketonggeng). Istilah “leng” maupun “rong” sama-sama berarti lubang yang merupakan simbolisasi dari alat kelamin wanita. Hal demikian terkait dengan pertunjukan yang dilakukan oleh penari wanita muda usia yang lenggang-lenggok mengolah gerak dan suara serta bahasa tubuh yang ditampilkan di atas pentas yang berpotensi mengundang birahi kaum pria. Yang membedakan lengger dan ronggeng adalah wilayah sebarannya. Lengger lebih berkembang di sisi kiri aliran sungai serayu, sedangkan ronggeng berkembang di sisi kanan sungai serayu. Namun pada intinya kedua-duanya sama, tarian rakyat yang diiringi dengan menggunakan perangkat musik calung, krumpyung ataupun ringgeng. Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah lengger berarti ana celeng padha geger. Pengertian ini tidak lain berkaitan dengan pola kehidupan tradisional agraris masyarakat yang bermukim di daerah Banyumas. Kultur petani di daerah ini telah melahirkan tradisi lengger yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat setempat. Kalimat ana celeng padha geger diilhami oleh hama babi hutan yang merusak tanaman pertanian (padi, jagung, jewawut, ketela pohon, dan lain-lain). Apabila sekelompok babi hutan datang merusak tanaman pertanian maka masyarakat geger dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian untuk mengusir hama tanaman tersebut. Kebiasaan ini kemudian diungkapkan kembali melalui tabuh-tabuhan alat musik yang diberi tari-tarian yang akhirnya disebut dengan istilah “lengger”.
Bagi mayarakat Banyumas, lengger atau ronggeng berlangsung searah dengan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Tarian rakyat ini adalah media ungkap ekspresi pengalaman estetis masyarakat pedesaan. Tetapi ia juga sarana upacara kesuburan, sarana tontonan, sarana hiburan, sarana integrasi sosial dan sarana pernyataan jatidiri. Semua itu berlangsung bersama dalam geliat kehidupan masyarakat pedesaan yang sederhana, lugu, terbuka dan egaliter. Dulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana karena tingkahnya yang lucu, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden.
Download selengkapnya di sini
Senin, 18 Januari 2010
Tugas Artikel Ritual Sambut 1 Sura
· NILAI
Orang-orang mengadakan ritual seperti tirakat dan bermalam di petilasan, mandi dan berendam, memandikan benda-benda pusaka agar benda kesayangan itu lebih terawat serta mempererat persahabatan diantara warga-warga yang datang di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap “keramat” seperti halnya di Tugu Suharto, Bendan Duwur Kec.Gajah Mungkur, Lawang Sewu, Kawasan peg. Desa Rahtawu Kec. Gebog, Solo. Semua hal tersebut memiliki unsur tujuan berbau klenik terkait dengan meminta keselamatan dan kesejahteraan kepada yang gaib.
Selain itu ritual 1 sura ini yang sudah merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Jawa tetap berlangsung meskipun banyak dari mereka saat ini tidak lagi mengetahui tujuan atas diadakannya ritual tersebut.
· KEPERCAYAAN
Bagi warga Desa Baleadi Kec. Sukolilo Kab. Pati riual 1 sura adalah untuk keselematan jiwa, lingkungan, menjauhkan bencana alam, hingga diberkatinya hasil pertanian. Dari berbagai ritual yang diadakan untuk memperingati 1 sura, dengan berbagai tujuan, telah beradaptasi menjadi suatu kepercayaan bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka yang berendam di Tugu Suharto mereka meyakini bahwa keinginan mereka akan terkabul jika melakukan ritual tersebut, sedangkan bagi warga yang bermalam di petilasan Pertapaan Begawan Eyang Sakri di Peg. Desa Rahtawu mereka meyakini akan mendapatkan berkah dan kemudahan hidup.
· PERILAKU
1. Memandikan sepeda onthel dengan air dan bunga di depan Gedung Lawang Sewu Kota Semarang.
2. Ritual berendam atau kungkum di tugu suharto.
3. Berziarah di Kawasan Peg. Desa Rahtawu.
4. Menggelar tradisi Barikan yaitu menyembelih seekor kambing bagi warga Des Baleadi Kec. Sukolilo
5. Menonton kirab Kerbau Bule di Alun-alun Keraton Surakarta.
MENYELARASKAN DIRI DENGAN ALAM GUNUNG SLAMET
· NILAI
Memperingati hari 1 sura bagi sebagian masyarakat dimaknakan sebagai refleksi diri, keprihatinan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Seperti pendakian Gunung Slamet yang merupakan bentuk ritual peringatan 1 sura ditujukan untuk menyampaikan rasa syukur dan memanjatkan doa keselamatan kepada Tuhan, hal lainnya yang adalah untuk menjaga kelestarian hutan dan semakin menumbuhkan kecintaan kepada alam.
· KEPERCAYAAN
Dalam pendakian Gunung Slamet ada wewaler atau larangan yang harus ditaati oleh pendaki, seperti tak boleh mengambil tumbuhan di hutan, mengotori mata air, membuang sampah seenaknya, membawa jimat, berkata tak pantas, dan bersikap sombong. Ritual pendakian Gunung Slamet dimulai dengan selamatan, berbagai macam umbarampe digelar dalam acara itu seperti tumpeng, buceng, urap-urap, kemenyan, dan berbagai macam masakan. Ada tujuh “penunggu” Gunung Slamet yang diyakini masyarakat sekitar, yakni Mbah Renti, Mbah Atas Angin, Mbah Tapak Angin, Mbah Semput, Mbah Brantayuda, Mbah Sapujagat, dan Mbah Raga. Sebagian masyarakat di sekitar Gunung Slamet meyakini apabila ada pendakian harus meminta ijin ”Para Penunggu” tersebut terlebih dahulu dengan mengadakan berbagai ritual sebelumnya.
· PERILAKU
Mengadakan selamatan dengan bermacam-macam umbarampe seperti tumpeng, buceng, urap-urap, kemenyan, dan berbagi macam masakan sebagai bentuk sesaji yang harus dilakukan oleh para pendaki.
Orang-orang mengadakan ritual seperti tirakat dan bermalam di petilasan, mandi dan berendam, memandikan benda-benda pusaka agar benda kesayangan itu lebih terawat serta mempererat persahabatan diantara warga-warga yang datang di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap “keramat” seperti halnya di Tugu Suharto, Bendan Duwur Kec.Gajah Mungkur, Lawang Sewu, Kawasan peg. Desa Rahtawu Kec. Gebog, Solo. Semua hal tersebut memiliki unsur tujuan berbau klenik terkait dengan meminta keselamatan dan kesejahteraan kepada yang gaib.
Selain itu ritual 1 sura ini yang sudah merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Jawa tetap berlangsung meskipun banyak dari mereka saat ini tidak lagi mengetahui tujuan atas diadakannya ritual tersebut.
· KEPERCAYAAN
Bagi warga Desa Baleadi Kec. Sukolilo Kab. Pati riual 1 sura adalah untuk keselematan jiwa, lingkungan, menjauhkan bencana alam, hingga diberkatinya hasil pertanian. Dari berbagai ritual yang diadakan untuk memperingati 1 sura, dengan berbagai tujuan, telah beradaptasi menjadi suatu kepercayaan bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka yang berendam di Tugu Suharto mereka meyakini bahwa keinginan mereka akan terkabul jika melakukan ritual tersebut, sedangkan bagi warga yang bermalam di petilasan Pertapaan Begawan Eyang Sakri di Peg. Desa Rahtawu mereka meyakini akan mendapatkan berkah dan kemudahan hidup.
· PERILAKU
1. Memandikan sepeda onthel dengan air dan bunga di depan Gedung Lawang Sewu Kota Semarang.
2. Ritual berendam atau kungkum di tugu suharto.
3. Berziarah di Kawasan Peg. Desa Rahtawu.
4. Menggelar tradisi Barikan yaitu menyembelih seekor kambing bagi warga Des Baleadi Kec. Sukolilo
5. Menonton kirab Kerbau Bule di Alun-alun Keraton Surakarta.
MENYELARASKAN DIRI DENGAN ALAM GUNUNG SLAMET
· NILAI
Memperingati hari 1 sura bagi sebagian masyarakat dimaknakan sebagai refleksi diri, keprihatinan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Seperti pendakian Gunung Slamet yang merupakan bentuk ritual peringatan 1 sura ditujukan untuk menyampaikan rasa syukur dan memanjatkan doa keselamatan kepada Tuhan, hal lainnya yang adalah untuk menjaga kelestarian hutan dan semakin menumbuhkan kecintaan kepada alam.
· KEPERCAYAAN
Dalam pendakian Gunung Slamet ada wewaler atau larangan yang harus ditaati oleh pendaki, seperti tak boleh mengambil tumbuhan di hutan, mengotori mata air, membuang sampah seenaknya, membawa jimat, berkata tak pantas, dan bersikap sombong. Ritual pendakian Gunung Slamet dimulai dengan selamatan, berbagai macam umbarampe digelar dalam acara itu seperti tumpeng, buceng, urap-urap, kemenyan, dan berbagai macam masakan. Ada tujuh “penunggu” Gunung Slamet yang diyakini masyarakat sekitar, yakni Mbah Renti, Mbah Atas Angin, Mbah Tapak Angin, Mbah Semput, Mbah Brantayuda, Mbah Sapujagat, dan Mbah Raga. Sebagian masyarakat di sekitar Gunung Slamet meyakini apabila ada pendakian harus meminta ijin ”Para Penunggu” tersebut terlebih dahulu dengan mengadakan berbagai ritual sebelumnya.
· PERILAKU
Mengadakan selamatan dengan bermacam-macam umbarampe seperti tumpeng, buceng, urap-urap, kemenyan, dan berbagi macam masakan sebagai bentuk sesaji yang harus dilakukan oleh para pendaki.
Laporan: Eksistensi SCTV Biro Surabaya Dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat Lokal
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................ i
Lembar pengesahan............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah...............................................................................
Perumusan Masalah......................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENYUSUNAN LAPORAN
Informan Terkait............................................................................................
Teknik Pengumpulan Data............................................................................
Teknik Analisis Data.....................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN........................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan pengikutnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain rasa syukur atas terselesaikannya laporan Kuliah Kerja Lapangan yang dilaksanakan di SCTV Biro Jawa Timur pada tanggal xxxx, yang juga sebagai syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan xxxx.
Segala usaha yang penulis lakukan tidak berarti apa-apa jika tanpa bantuan, pengarahan, serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. xxxx selaku Ketua Jurusan xxxx
2. xxxx selaku Dosen pembimbing kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Jurusan xxxx.
3. Staf Redaksi Biro SCTV Jawa Timur.
4. Staf Redaksi dan Humas Jawa Post.
5. Dosen-dosen Pembimbing KKL.
6. Teman-teman Jurusan xxxx.
7. Keluarga tercinta atas doanya.
Penulis menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, jika ada kesalahan dan kekurangan dalam laporan ini penulis sampaikan mohon maaf.
xxxx,
Penulis
Download selengkapnya di sini
Halaman Judul........................................................................................................ i
Lembar pengesahan............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah...............................................................................
Perumusan Masalah......................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III METODE PENYUSUNAN LAPORAN
Informan Terkait............................................................................................
Teknik Pengumpulan Data............................................................................
Teknik Analisis Data.....................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN........................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan pengikutnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain rasa syukur atas terselesaikannya laporan Kuliah Kerja Lapangan yang dilaksanakan di SCTV Biro Jawa Timur pada tanggal xxxx, yang juga sebagai syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan xxxx.
Segala usaha yang penulis lakukan tidak berarti apa-apa jika tanpa bantuan, pengarahan, serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. xxxx selaku Ketua Jurusan xxxx
2. xxxx selaku Dosen pembimbing kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Jurusan xxxx.
3. Staf Redaksi Biro SCTV Jawa Timur.
4. Staf Redaksi dan Humas Jawa Post.
5. Dosen-dosen Pembimbing KKL.
6. Teman-teman Jurusan xxxx.
7. Keluarga tercinta atas doanya.
Penulis menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, jika ada kesalahan dan kekurangan dalam laporan ini penulis sampaikan mohon maaf.
xxxx,
Penulis
Download selengkapnya di sini
Minggu, 17 Januari 2010
Tugas Artikel Budaya Mitoni
I. PENDAHULUAN
A. Latar sejarah budaya
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni".
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) dan pitu (tujuh) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
II. PEMBAHASAN
A. Mitoni, makna dan pelaksanaannya
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
1. Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
2. Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
3. Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4. Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
5. Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
6. Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
7. Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
8. Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
Upacara-upacara mitoni memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
2. Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
3. Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
4. Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
5. Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
6. Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
7. Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayi yang sedang dikandung mudah kelahirannya.
8. Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
B. Respon masyarakat
Budaya mitoni masih sangat lekat dengan budaya jawa dan merupakan salah satu budaya yang paling populer di kalangan masyarakat jawa. Mayoritas masyarakat (banyumas tepatnya) menganggap budaya mitoni merupakan tradisi yang benar-benar sakral dan pantang di lewatkan, hal tersebut mengingat paham tentang ketakutan mereka akan ketidaksempurnaan lahir dari bayi bila tidak dipitoni. Sebenarnya bahkan ditakutkan kalau yang gaib merasa di tinggalkan dan bayi tersebut dapat saja di kutuk untuk dijadikan peringatan nantinya. Hal lainnya tentu saja untuk meneruskan budaya yang telah lama turun temurun dari nenek moyang, sehingga sering kali di beberapa daerah, keluarga yang tidak melakukan akan di cela warga.
Peninggalan dari jaman hindu ini sudah mendarah daging di masayarakat. Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa ajaran ini juga mengandung nilai-nilai dan merupakan salah satu wujud ibadah islami yaitu untuk minta selamat pada yang kuasa melalui ibadah berbentuk ceremonial yang kerap kali memang di sisipi nuansa islami (sholawatan misalnya). Meski demikian, tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi tanggapan positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang seringkali menimbulkan protes keras dari beberapa pihak. Mereka menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali bukan ajaran islam dan melenceng jauh dari nilai-nilai agama islam, bahkan diantaranya menganggap acara tersebut haram dilakukan karena dianggap melencengakan agama (bid’ah).
III. KESIMPULAN
Mitoni merupakan warisan budaya yang telah lama ada dan mendarah daging di masyarakat jawa. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya.
Kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang patut untuk dijaga dan di lestarikan, tentunya begitu pula dengan mitoni. Namun sebagai penganut islam yang baik sudah semestinya pula masyarakat dapat menjadikan agama bukan hanya sebagai ucapan lidah, namun juga alat seleksi kebudayaan mana yang patut untuk dilakukan dan tidak bertentangan dengan ajaran yang diyakini. Kebudayaan memang kerap berhubungan dengan nilai-nilai yang bersifat religius, namun bukan berarti harus di kait-kaitkan dengan religi lain yang ada.
A. Latar sejarah budaya
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut "mitoni".
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) dan pitu (tujuh) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
II. PEMBAHASAN
A. Mitoni, makna dan pelaksanaannya
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
1. Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
2. Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
3. Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4. Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
5. Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
6. Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
7. Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
8. Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
Upacara-upacara mitoni memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
2. Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
3. Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
4. Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
5. Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
6. Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
7. Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayi yang sedang dikandung mudah kelahirannya.
8. Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
B. Respon masyarakat
Budaya mitoni masih sangat lekat dengan budaya jawa dan merupakan salah satu budaya yang paling populer di kalangan masyarakat jawa. Mayoritas masyarakat (banyumas tepatnya) menganggap budaya mitoni merupakan tradisi yang benar-benar sakral dan pantang di lewatkan, hal tersebut mengingat paham tentang ketakutan mereka akan ketidaksempurnaan lahir dari bayi bila tidak dipitoni. Sebenarnya bahkan ditakutkan kalau yang gaib merasa di tinggalkan dan bayi tersebut dapat saja di kutuk untuk dijadikan peringatan nantinya. Hal lainnya tentu saja untuk meneruskan budaya yang telah lama turun temurun dari nenek moyang, sehingga sering kali di beberapa daerah, keluarga yang tidak melakukan akan di cela warga.
Peninggalan dari jaman hindu ini sudah mendarah daging di masayarakat. Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa ajaran ini juga mengandung nilai-nilai dan merupakan salah satu wujud ibadah islami yaitu untuk minta selamat pada yang kuasa melalui ibadah berbentuk ceremonial yang kerap kali memang di sisipi nuansa islami (sholawatan misalnya). Meski demikian, tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi tanggapan positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang seringkali menimbulkan protes keras dari beberapa pihak. Mereka menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali bukan ajaran islam dan melenceng jauh dari nilai-nilai agama islam, bahkan diantaranya menganggap acara tersebut haram dilakukan karena dianggap melencengakan agama (bid’ah).
III. KESIMPULAN
Mitoni merupakan warisan budaya yang telah lama ada dan mendarah daging di masyarakat jawa. Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya.
Kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang patut untuk dijaga dan di lestarikan, tentunya begitu pula dengan mitoni. Namun sebagai penganut islam yang baik sudah semestinya pula masyarakat dapat menjadikan agama bukan hanya sebagai ucapan lidah, namun juga alat seleksi kebudayaan mana yang patut untuk dilakukan dan tidak bertentangan dengan ajaran yang diyakini. Kebudayaan memang kerap berhubungan dengan nilai-nilai yang bersifat religius, namun bukan berarti harus di kait-kaitkan dengan religi lain yang ada.
Tugas Review Buku Tentang Film
REVIEW BUKU FILM MERUPAKAN BARANG DAGANGAN
Penulis :Mujiono
Penerbit :Jakarta Pustaka
Tgl Terbit :23 Juni 2007
Kategori :Seni
Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan.Berbeda dengan kelahiran sastra dan seni rupa modern Indonesia yang terkait dengan pergumulan ide-ide yang diyakini sebagai pendasaran baru terhadap arah perubahan sosial budaya menuju suatu visi (yang samar-samar) tentang pembentukan nasion beserta kemungkinan politik dalam tingkat praksis guna mewujudkan visi tersebut, kelahiran film Indonesia relatif tak bersentuhan dengan pergumulan semacam itu.
Sebagai bagian dari keterlibatannya dengan politik kebudayaan yang mulai menemukan momentumnya pada gerakan-gerakan ideologis yang muncul pada masanya, sastra dan seni rupa secara intrinsik juga terpaksa (berkali-kali) mempersoalkan praksis estetiknya. Film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan, kelangenan, pelipur lara.
Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia ternyata hingga kini belum juga berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan sehingga film cenderung turut berantakan. Artinya, baik secara budaya maupun secara ekonomis film Indonesia memang memerlukan “pemberdayaan”.
Rupanya kita perlu mengambil pelajaran dari dunia seni rupa yang dapat berlari menembus berbagai peristiwa besar di tingkat internasional tanpa campur tangan negara sama sekali. Senirupawan dapat menciptakan beberapa institusi dan jaringan, beserta kemungkinan kerja sama secara luas yang menyangga jenis karya spesifik (kontemporer) dan tidak laku dijual. Mereka membentuk komunitas dan kelompok kerja yang terus mengolah berbagai gagasan yang tak populer. Arus internasionalisasi telah membuat para seniman merumuskan ulang posisinya sebagai makhluk kreatif, juga merumuskan paradigma seni yang dipraktikkannya.
Penulis :Mujiono
Penerbit :Jakarta Pustaka
Tgl Terbit :23 Juni 2007
Kategori :Seni
Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan.Berbeda dengan kelahiran sastra dan seni rupa modern Indonesia yang terkait dengan pergumulan ide-ide yang diyakini sebagai pendasaran baru terhadap arah perubahan sosial budaya menuju suatu visi (yang samar-samar) tentang pembentukan nasion beserta kemungkinan politik dalam tingkat praksis guna mewujudkan visi tersebut, kelahiran film Indonesia relatif tak bersentuhan dengan pergumulan semacam itu.
Sebagai bagian dari keterlibatannya dengan politik kebudayaan yang mulai menemukan momentumnya pada gerakan-gerakan ideologis yang muncul pada masanya, sastra dan seni rupa secara intrinsik juga terpaksa (berkali-kali) mempersoalkan praksis estetiknya. Film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan, kelangenan, pelipur lara.
Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia ternyata hingga kini belum juga berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan sehingga film cenderung turut berantakan. Artinya, baik secara budaya maupun secara ekonomis film Indonesia memang memerlukan “pemberdayaan”.
Rupanya kita perlu mengambil pelajaran dari dunia seni rupa yang dapat berlari menembus berbagai peristiwa besar di tingkat internasional tanpa campur tangan negara sama sekali. Senirupawan dapat menciptakan beberapa institusi dan jaringan, beserta kemungkinan kerja sama secara luas yang menyangga jenis karya spesifik (kontemporer) dan tidak laku dijual. Mereka membentuk komunitas dan kelompok kerja yang terus mengolah berbagai gagasan yang tak populer. Arus internasionalisasi telah membuat para seniman merumuskan ulang posisinya sebagai makhluk kreatif, juga merumuskan paradigma seni yang dipraktikkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)